loading...

Mungkinkah 'Jati Sunda' merupakan agama' Parahyangan (Leluhur awal Tanah Sunda)????


Bila orang-orang Arabia mengetahui Mekkah serta Yerusalem sebagai lokasi keramat, jadi di tatar Sunda orang mengetahui Galunggung sebagai satu kabuyutan. Di Mekkah ada 'maqom' (sisa petilasan) Ibrahim, jadi di Galunggung ada 'sanghyang tapak Parahyangan' (sisa petilasan beberapa leluhur awal). Seseorang sesepuh bernama Aki Anang dengan kata lain Raden Anang Daryan Jayadikusumah (1926 -- 2000), pemimpin grup kebatinan 'jati Sunda' yang juga keturunan Batara di Galunggung, pernah menjelaskan berita turun-temurun lebih kurang seperti berikut sebagai berikut
Sebenarnya pada zaman yang sudah lampau sekali, tatar Sunda yaitu daerah perairan yang cuma ada satu daratan yang tidaklah terlalu luas (zaman air). Daerah paling tinggi dari daratan itu yaitu puncak dari satu gunung yang saat ini dimaksud Galunggung. Pada zaman itu puncak Galunggung yaitu daratan paling tinggi di tatar Sunda. Pada hari yang diberkahi, tibalah satu perahu besar yang berisi sangat banyak manusia serta hewan peliharaan. Beberapa beberapa orang perahu itu turun serta tinggal menetap dan membangun komunitas manusia yang baru. Tersebut nenek moyang manusia Sunda saat ini, serta dijadikan Galunggung sebagai satu kabuyutan atau 'sanghyang tapak Parahyangan'.
Galunggung sebagai satu kabuyutan riil dimaksud dalam guratan naskah lontar yang dapatkan di Ciburuy, Garut, yaitu satu naskah yang sesudah di teliti adalah naskah lontar tertua di Indonesia dengan kode Kropak 632. Kropak 632 ini diprediksikan di buat pada tahun 1030-an masehi. Dalam naskah itu dikabarkan kalau Rakeyan Darmasiksa memberi petuah pada anak cucunya mengenai pegangan hidup, serta kalau kabuyutan di Galunggung mesti dijaga serta dipertahankan supaya tak dikuasai oleh orang asing (Danasasmita, 2006). Pesan Sang Darmasiksa kalau Galunggung jangan pernah dikuasai orang asing kelihatannya serupa dengan larangan untuk golongan non muslim masuk tanah al Haram di Makkah (tanah larangan di Mekkah, Arab Saudi). Kenapa kabuyutan butuh dijaga, tentunya lantaran kabuyutan yaitu cikal bakal serta lambang jatidiri. Rusaknya kabuyutan Galunggung bermakna sirnanya jatidiri serta nilai-nilai asli yang khas dari orang-orang Sunda. Pesan Rakeyan Darmasiksa yang termuat dalam Kropak 632 dibukukan oleh Atja (1929--1991) serta Saleh Danasasmita (1933--1986) dengan judul 'Amanat Galunggung' (diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Musium Jawa Barat).
Wibawa Galunggung sebagai satu kabuyutan, terlihat juga dari cuplikan 'Babad Tanah Jawi ' serta 'Carita Parahyangan', sebenarnya putra sulung Raja Galuh yang bernama Sempak Waja jadi Batara (raja pandita) di Galunggung dengan gelar Batara Dangiang Guru, yang melantik raja-raja yang bakal berkuasa. Kedudukan Batara di Galunggung yang sangat tinggi di dukung juga oleh penemuan naskah kuno lain dengan kode Kropak 406, yang isinya menjelaskan lebih kurang sekitaran tahun 1030-an, datanglah Darmasiksa (Sri Jayabupati) menghadap Batara keturunan Batara Dangiang Guru Sempak Waja, memohon lokasi yang lalu dinamakan oleh Batara yang berkuasa itu sebagai 'tempat tinggal Sang Karma' (Saunggalah/Kuningan). Darmasiksa atau Sri Jayabupati menurut Carita Parahyangan yaitu anak dari Sang Lumahing Winduraja. Sedang menurut naskah Pangeran Wangsakerta, Jayabupati yaitu Raja Sunda ke-20 yang memerintah tahun 1030-1042 (Ekadjati, 2005).
Demikianlah Galunggung dikatakan sebagai kabuyutan, sebagai 'sanghyang tapak Parahyangan' yang begitu dikeramatkan serta dijaga oleh beberapa 'raja pandita' (Batara) yang mempunyai kekuasaan yang begitu tinggi diatas raja-raja umum.

Kabuyutan-kabuyutan lain yang nampak kemudian, yang disebut 'turunan' dari kabuyutan Galunggung banyak menyebar di lokasi Jawa Barat, salah satunya Denuh, Ciburuy, Sumedang, Linggawangi, serta Panjalu. Seperti di Galunggung, kabuyutan-kabuyutan ini juga di pimpin oleh raja pandita bergelar Batara.
PARA BATARA DI GALUNGGUNG
Mengulas kabuyutan Galunggung tak dapat terlepas dari tema beberapa Batara yang mendudukinya. Selama ini naskah-naskah kuno paling banyak mengatakan nama 'Batara Dangiang Guru Sempak Waja' sebagai Batara di Galunggung. Batara-batara lain selanjutnya juga terkadang dimaksud dengan memasukkan nama besar Dangiang Guru Sempak Waja, seperti yang tercatat pada Kropak 406 diatas. Dari Prasasti yang diketemukan di Gegerhanjuang, Tasikmalaya, di ketahui nama seseorang Batara wanita. Mungkin saja Batara wanita hanya satu, bernama Batari Hyang, yang pada tahun 1111 merubah bentuk kebataraan jadi kerajaan, yakni Kerajaan Galunggung. Menurut versus lokal, di ketahui sekurang-kurangnya enam orang Batara yang memerintah sesudah Batari Hyang tahun 1111, serta tak di ketahui jumlah Batara sebelumnya masanya. Versus keluarga Anang Daryan mengatakan satu nama Sanghyang Puhun sebagai Raja Pandita Galunggung yang pertama, tetapi belum dimaksud Batara. Beberapa Batara penguasa Galunggung yang di kenal orang-orang lokal salah satunya Sanghyang Puhun, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wiroga, Batara Tunggal, Ratu Demung Kamulan, Batara Sakti, Batara Siluman, Batara Sombeng, Batara Sempakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu serta Batari Hyang. Versus keluarga R. Anang Daryan Jayadikusumah memberikan nama Batara Gunawisesa.
Batara Gunawisesa yaitu kakak sulung Batara Kuncung Putih. Adik-adik Batara Gunawisesa dari yang tertua sampai yang termuda yaitu Wahyu Cakraningrat (makam di Curug Tujuh Galunggung), Ambu Sarigan (makam di Dinding Ari Galunggung), Ambu Hawuk dengan kata lain Nyi Mas Garsih (makam di Dinding Ari Galunggung), serta Batara Kuncung Putih (makam di Kawah Galunggung).
Menindaklanjuti info dari prasasti Gegerhanjuang sebenarnya pada tahun 1111 masehi berlangsung pergantian bentuk pemerintahan dari bentuk kebataraan jadi kerajaan, tentunya menyebabkan pertanyaan tentang ketidaksamaan ke-2 bentuk pemerintahan itu. Selama ini belum ada referensi pustaka yang menjelaskan hal semacam itu.. Tetapi menurut hemat saya, mungkin bentuk kebataraan bisa diasumsikan dengan bentuk kepausan katolik saat ini yang berkedudukan di Roma. Italia, yaitu pemerintahan satu tingkat negara (bahkan juga kian lebih itu) yang cuma mengurus keruhanian orang-orang. Lalu barulah pada tahun 1111 masehi, yaitu pada zaman Batari Hyang, Batara bukan sekedar mengurus permasalahan ruhani orang-orang, tetapi juga permasalahan  keseharian seperti kesejahteraan rakyat, politik, budaya, dan sebagainya. Dengan hal tersebut, bertambahlah manfaat Batara mulai sejak waktu itu, meminjam arti Islam, yaitu sebagai 'ulama' (tokoh ruhani) sekalian 'umaro' (tokoh birokrat pemerintahan).
JATI SUNDA SEBAGAI ‘AGAMA’ PARA BATARA
Saat ini nampak satu pertanyaan baru. Sebagai tokoh ruhani, apakah 'agama' beberapa Batara? Menilik berdasarkan arti, 'batara' tentunya kental dengan ke-Hinduan yang dibawa dari India. Mungkin saja beberapa Batara di Galunggung beragama Hindu . Namun mungkin  juga tidak, walau semua arti meminjam unsur ke-Hinduan. Danasasmita (2006) dalam tulisannya berjudul 'Batu Nyantra dari Tapos' memberi informasi kalau agama orang Pajajaran (Sunda, Parahyangan) memiliki kandungan tiga unsur paling utama, yaitu 'Hinduisme', 'Budhisme', serta 'Jati Sunda' dengan pemuliaan beberapa leluhur. Dari ketiga unsur itu, nyatanya 'Jati Sunda' yang paling menguasai.
Mengacu pada pendapat Saleh Danasasmita (2006) pada tulisan berjudul 'Batu Nyantra dari Tapos' serta 'Hubungan Sri Jayabupati dengan Prasasti Geger Hanjuang, berikut ini akan dibahas mengenai alam spiritual orang-orang Sunda kuno, terlebih beberapa Batara di Galunggung :
Berdasarkan beberapa arti serta beberapa nama yang ada pada prasasti serta naskah kuno yang lain, beberapa pakar memiliki pendapat kalau agama yang berkembang di tatar Sunda yaitu Hindu. Tetapi sesudah di teliti, jika Hindu yang diyakini, jadi Hindu orang Sunda tidak sama dengan Hindu di Jawa Tengah serta Jawa Timur. Hindu di tatar Sunda tak mengetahui kasta, yang ada hanya feodalisme umum. Agama Hindu yang agak pas dengan profil spiritual di tatar Sunda yaitu Hindu Tantrayana, yaitu kombinasi Hindu serta Budha, tetapi lebih menghadap ke Budha. Hal semacam ini di dukung oleh penemuan " Batu Nyantra " di Tapos, Bogor, pada tahun 1979, yang di bagian atasnya ada goresan sama gajah, di mana gajah yaitu lambang aliran Tantrayana yang lebih menghadap ke Budhiisme. Gambar gajah ada juga pada prasasti Kebon Kopi yang diketemukan di Kampung Muara, Cibungbulang, Bogor. Dengan hal tersebut, Budhisme lebih menguasai dari pada Hinduisme dalam artian 'Siwaisme' pada orang-orang tatar Sunda saat itu.
Meminjam ungkapan Danasasmita, meninjau histori keagamaan di India, sesungguhnya Budhisme bisa dikatakan sebagai satu diantara aliran dalam agama Hindu. Sedang, agama Budha sendiri pada intinya lebih condong adalah filsafat dari pada agama. Ajaran agama Budha pada asal muasalnya tak mengetahui ritual ibadat lantaran menurut pahamnya kesuksesan meraih nirwana hanya tergantung pada kebenaran karma (perbuatan) belaka.
Apa yang membedakan Budhisme dengan Hinduisme adalah watak Budhisme yang kosmopolit, bisa diyakini oleh mereka yang bukanlah Hindu. Hinduisme pada intinya bercorak Aryan, bercorak khas Hindu, kerena menurut doktrin yang mendasarinya, seseorang Hindu dilahirkan dalam kasta. Agama Budha tak mengetahui system kasta. Nampaknya nilai-nilai Budhisme berikut sebagai sisi 'irisan' dengan falsafah asli Sunda, yakni 'Jati Sunda'. Menurut hemat saya, bukanlah Hinduisme atau Budhisme yang menguasai alam spiritual orang Sunda, terlebih beberapa Batara di Galunggung. Hinduisme serta Budhisme cuma memperkaya khasanah spiritual . Kalau sejak penyebaran  besar-besaran ajaran Islam dari Cirebon serta Banten era ke-16 di tatar Sunda, Hinduisme serta Budhisme demikian gampang pupus,   namun  'Jati Sunda' tetap masih ada serta hidup di hati orang-orang Sunda sampai detik ini. Jadi mana yang lebih berurat-berakar : Hinduisme - Budhisme atau 'Jati Sunda'?
Ajaran 'Jati Sunda' mengajarkan keimanan pada Tuhan Yang Satu, hidup simpel (meurih), sama-sama tolong membantu, bersahaja, serta 'kembali ke alam' atau 'back to nature', yaitu kalau alam serta manusia sama-sama memberikan sebab - akibat (Suganda, 2006). Ajaran 'Jati Sunda' ini masihlah terlihat kental pada sebagian komunitas orang-orang di lokasi tatar Sunda, salah satunya orang-orang Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis, Kampung Dukuh serta Kampung Pulo di Garut, Kampung Urug di Bogor, Kampung Ciptarasa - Pupusrasa di Sukabumi, serta Kanekes di Banten. ‘Jati Sunda’, bila dikira agama, jadi agama ini serupa dengan agama Nabi Ibrahim as. Agama Ibrahim belum bernama Islam. Beberapa ulama menyebutkan agama Ibrahim yaitu agama Hanif, yaitu agama ‘Jalan Lurus’.
Demikianlah, kalau banyak arti Kehinduan yang memperkaya khasanah bahasa di tatar Sunda, terutama di kabuyutan Galunggung, yang kenyataannya tidak terbantahkan. Demikian halnya sumbangan ajaran Hinduisme serta Budhaisme yang memperkaya falsafah asli 'Jati Sunda'. 'Jati Sunda' nampaknya telah ada jauh sebelumnya Hinduisme - Budhisme di kenal di Galunggung.
'Jati Sunda' mungkinkah 'agama' yang dibawa beberapa Parahyangan (leluhur awal) yang merapat di Galunggung pada zaman air seperti narasi yang ditutur oleh mendiang Aki Anang? Apakah benar narasi Aki Anang mengenai hal ikhwal karuhun Sunda di Galunggung? Kita semuanya masihlah menanti jawaban ilmiah dari beberapa pakar.
Kabuyutan Galunggung : masihlah misteri yang belum teratasi...


Sumber : http://kisahmisteridansejarah.blogspot.co.id/

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Mungkinkah 'Jati Sunda' merupakan agama' Parahyangan (Leluhur awal Tanah Sunda)????"

Posting Komentar