loading...

LGBT, Nature or Nurture?

LGBT (Laki-laki Ganteng Beristeri Tiga atau Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) Mau pilih yang mana?????

Ternyata menjadi LGBT, bukan opsi, bukan hak dan bukan pula takdir, tetapi karena proses sosial yang dipilihnya, sehingga mempengaruhi terbentuknya kepribadian cenderung atau bahkan sudah nyaman sebagai LGBT. Neil N Whitehead ahli biokimia meneliti "gay gen" selama empat puluh tahun mengkritisi pendapat mereka yang menerapkan determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil penelitiannya pertama kali diterbitkan 1999, lalu direvisi dengan penambahan bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan judul "My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence". 

Bukti terkuat menurut Whitehead adalah penelitian Twin studies. Secara sederhana twin studies adalah studi yang dilakukan terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki saudara kembar. Apabila homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar seharusnya sama-sama berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik. Pendek kata orang yang memiliki kecenderungan homoseksualitas bukan karena takdir Tuhan, tetapi karena ada faktor eksternal yang turut membentuk dan mengkondisikan, sehingga seseorang nyaman menjadi LGBT. 

Maraknya aktivitas serta kampanye yang mendukung gerakan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), baik langsung ataupun tidak, memiliki efek negatif bagi masyarakat dan terutama usia anak. Apalagi kampanye LGBT dilakukan melalui saluran informasi dan media sosial yang sasaran penggunanya usia anak sekolah dan remaja. 

Tampaknya, telah banyak anak dan usia remaja menjadi korban. Data yang dihimpun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016, tampaknya LGBT di dunia anak dan remaja cukup serius. Terdapat 3.000 pelajar di Kota Batam diketahui sebagai penyuka sejenis. 

Survei AUSAID, sebanyak 700 atau 22% anak usia 16-20 tahun di Tanjungpinang dan Bintan berperilaku menyukai sesama jenis. Peningkatan Penderita HIV homoseksual dari 6% (2008) menjadi 8% (2010) dan terus menjadi 12% (2014). Selanjutnya, terdapat komunitas Gay SD, Gay SMP, Gay SMA di twitter dengan jumlah pengikut ribuan. Pada saat yang sama, terdapat 119 Organisasi yang concern terhadap isu LGBT di Indonesia dan jumlahnya terus meningkat (UNDP, 2015).

Menuju "Civic Intelligence"
Kampanye LGBT yang semakin masif dan sistematis telah mengkoyak kepribadian dan sistem nilai bangsa. Tak sedikit orangtua dan terutama Ibu takut, jikalau anaknya suatu nanti terpengaruh menjadi LGBT. Masifnya kampanye LGBT, masyarakat dan bangsa tak boleh permisif, reaktif apalagi melakukan kekerasan, namun diperlukan apa yang disebut "civic intelligence". 
Dalam rumusan Massachusetts Institute of Technology Encyclopedia of Cognitive Sciences, inteligensi dirumuskan sebagai "kemampuan seseorang menyesuaikan diri, memilih dan mengembangkan lingkungannya". Inteligensi berkaitan dengan tiga kemampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya yaitu kemampuan adaptasi, konstruktif dan selektif. Dengan demikian, civic intelligence adalah kemampuan masyarakat beradaptasi dengan peradapan, berinteraksi, namun tetap selektif. 

Menurut Carl Hovland, teori perubahan sikap (attitude change theory) seseorang sejatinya memiliki kemampuan tiga proses selektif yaitu: 
Pertama, penerimaan informasi selektif yaitu proses dimana orang hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan sikap atau kepercayaan yang sudah dimilikinya. Jika nilai sosial, komunitas dan masyarakat di lingkungannya memandang bahwa perilaku homoseksual sebagai perilaku yang abnormal, maka propaganda dan promosi melalui apapun tidak akan terpengaruh. 
Dengan demikian, penguatan standar nilai kepatutan harus diperkuat agar memiliki benteng selektifitas. Anak merupakan kelompok rentan yang mudah meniru dan terpengaruh segala bentuk propaganda LGBT, apalagi dewasa ini promosi LGBT semakin kreatif, atraktif dan variatif. 

Kedua, ingatan selektif; orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari, tapi cenderung mengingat informasi yang mendukung pandangan dan keyakinan mereka. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan pandangan nilai yang dianutnya, maka dengan sendirinya akan mudah dilupakan. Bagaimana posisi LGBT? 
Jika keyakinan seseorang tetap bahwa LGBT sebagai natural, maka tentu akan selalu diingat dan dijadikan standar, namun jika sebaliknya bahwa LGBT dipandang dan diyakini sebagai abnormal maka, segala bentuk rayuan dan promosi agar menjadi pelaku atau minimal simpati LGBT, tentu bisa dinafikan atau bahkan dilupakan dari proses hidup yang mereka tempuh. 

Ketiga, persepsi selektif; persepsi selektif adalah menginterpretasikan secara selektif apa yang dilihat seseorang berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap yang dimiliki. Dengan demikian, yang turut membentuk terhadap persepsi selektif adalah latar belakang dan pengalaman seseorang. 
Jika seseorang memiliki pengalaman hidup nyaman dengan seseorang berkarakter homoseksual sangat mungkin, secara perlahan akan menaruh minat menjadi homo atau setidaknya bersimpati dengan orang berperilaku homo.  

Teori perubahan sikap tersebut sejatinya seseorang dalam kehidupan sosial tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai, baik sistem nilai yang berhubungan dengan benar dan salah yang disebut dengan logika, sistem nilai yang berhubungan dengan baik dan buruk atau pantas dan tidak pantas yang disebut dengan etika atau sistem nilai yang berhubungan dengan indah dan tidak indah yang disebut dengan estetika. 


Semoga masyarakat Indonesia tetap merawat sistem nilai yang bersandarkan pada keadaban, kepatutan, kepantasan sosial, serta sistem nilai universal agama sebagai filter dan pengikat untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat. Semoga….!



Sumber : http://news.detik.com/

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "LGBT, Nature or Nurture?"

Posting Komentar